Jumat, 13 Desember 2024

 

Suatu Hari di Beranda Rumah

(jofankleden)

(ilustrasi dari google)

 

             Ibu membuatkan aku teh dan ubi goreng kesukaanku. Kata ibu, ubi ini akan dijual namun mendengar kepulanganku, ibu menyimpannya untuk aku.

            Persis di depan beranda rumah, sawah milik ibu membentang luas. Padi yang ibu tanam, kini mulai tumbuh subur dari ujung kek ujung. Iya, ibu sendiri yang bekerja membuka lahan, menanam dan hasil panennya akan dijual untuk keperluan di dalam rumah. Ibu selalu mengandalkan hasil tanam.

            “Ibu, bagaiman hasil panen padi tahun ini ibu?

            “Panen kali ini lumayan menguntungkan ina. Ibu sudah beli TV untuk hiburan disaat ibu sedang beristirahat”

            Tipikal dari ibuku ialah ia seorang tidak suka banyak bicara. Ia akan diam saja bila tidak ada yang mengajaknya berbicara. Bahkan aku sendiri. Ibu lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja dibandingkan bercerita tentang hiruk-pikuk kehidupan. Pesan-pesan kehidupan yang aku terima, mungkin bisa dihitung dengan jari. Ibu hanya memberitahu pesan-pesan itu melalui tindakan nyatanya. Sehingga aku dapat belajar dari ibuku tentang arti sebuah kesetiaan untuk merawat - merawat kesedihan dan merawat kerinduan melalui perbuatan ibu.

            Ibu juga tidak perah terbuka tentang masa lalunya. Setiap kali aku bertanya tentang sosok ayah, ibu selalu memilih untuk menghindar. Entah, apa yang terjadi pada masa lalu ibu? Pertanyaan-pertanyaan brutal kerap kali menganggu pikiranku. Namun semua pertanyaan-pertanyaan itu, aku pendam sedalam mungkin karena aku tidak ingin melihat ibuku menangis lagi.

            Ibu Pernah menangis dipojokan kamar saat memandang sebuah foto usang. Waktu kejadian itu,  aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Aku masuk ke kamar tanpa ijin untuk sekedar melihat keadaan ibu. Ibu yang sedang menangis lalu melihat kedatanganku dengan cepat ibu berpura-pura menyeka air matanya untuk menunjukkan disaat itu tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Lalu ibu memelukku dengan erat dan berkata. Ibu akan selalu baik-baik saja bila ada Ina disamping ibu. Ina selalu menjadi pelita bagi ibu disaat gelap datang merebut cahaya dari ibu. Sejak saat itu, ibu selalu menangis dipojokan kamarnya.

            “Ibu, apakah ibu masih ingat. Waktu aku jatuh di pematang sawah. Tepat didekat orang-orangan sawah itu ?” Aku mulai mengingat-ingat masa lalu bersama ibu dan bertanya pada ibu.

            “iya, dulu ina sering main-main di lahan sawah. Kadang membuat ibu repot mengurusi ina” jawab ibu sambil menyeruput teh buatannya.

Aku mengenang masa lalu bersama ibu. Ibu selalu saja memarahiku ketika aku melakukan sebuah kesalah kecil. Ibu akan melarangku jika itu salah. Suatu waktu, aku tidak sengaja menjatuhkan gelas antik hingga pecah– entah siapa menghadikan gelas itu kepada ibu. Ibu begitu marah dengan kejadian itu. Selama satu minggu penuh ibu tidak sedikit pun menegurku hanya karena gelas antiknya itu. Semenjak kejadian itu, aku selalu berhati-hati untuk melakukan sesuatu.

Semenjak aku pergi untuk mengenyam pindidikan di kota, komunikasi antara ibu dan aku tidak berjalan dengan baik. Ibu selalu sibuk menanam padi dan sibuk mengurus rumah sedangkan aku sibuk dengan urusan pendidikanku. Namun disela-sela kesibukan, aku menyempatkan diri untuk menelepon ibu namun perbincangan kami tidak lama dan tidak intens karena ibu selalu mengatakan ibu sedang sibuk bekerja. Aku bersyukur bisa mendengar suara ibu walaupun hanya sebentar.

Senja mulai memberikan cahayanya. Tidak heran lagi, mengapa ibu membuat beranda rumah kami di sini. Karema tempat ini memberikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Belum sempat memanjakan mata dengan pemandangan senja ibu bangun dari tempat duduknya dan beranjak masuk kedalam rumah.

“ibu mau kemana?” tanyaku saat ibu mulai masuk kedalam rumah.

“sudah sore. Ibu biasanya menyempatkan diri untuk doa” jawab ibu sembari masuk kedalam rumah.

Aku tidak tahu persis kapan ibu mulai berdoa di dalam rumah. Seperti biasa aku mengintip melalui pintu rumah dan melihat ibu sedang berdoa. Ibu sangat khusyuk berdoa. Tangan ibu erat memegang Rosario seperti memegang tangan bayi yang tidak ingin dilepas. Tidak ada kata yang terucap dari mulut ibu, mungkin ibu berbicara dengan Tuhan melalui hatinya. Hanya ibu lilin dan patung keluarga kudus yang menemani ibu disaat ibu sedang berdoa.

Sekitar setengah jam ibu berdoa. Setelesai berdoa, ibu langsung membereskan pojok doa. Ibu tidak lengsung duduk bersama aku di beranda namun ibu melanjutkan pekerjaannya yang belum beres. Ibu terlihat nyaman dengan pekerjaannya. Aku sempat berpikir apakah dikemudian hari aku sebagai istri akan sesibuk ini? Atau mungkin karena ibu hanya sebatangkara lalu ibu yang melakukan semua pekerja ini?

“Ina, cepat minum tehmu. Nanti dingin”

“iya ibu”

Aku sebagai anak tunggalnya merasa kasihan dengan apa yang ibu alami. Aku tidak tega melihat ibuku melakukan semua sendiri. Aku pernah berdiskusi dengan ibu soal mengapa ibu tidak ingin nikah lagi. Namun tidak ada jawaban dari ibu. Entah apa yang terjadi pada ibu. Ibu memilih pergi dan melanjutkan pekerjaan ibu.

“ibu” panggilku

“Iya ina” jawab ibu yang sedang menanak nasi.

“ibu apakah aku bisa bertanya? Mungkin pertanyaan ini sudah sering aku Tanya pada ibu” aku meyakinkan diri untuk bertanya. Dan hari ini aku akan harus tahu jawabannya walaupun aku memaksa ibu untuk menjawab.

“iya ina, apa yang mau ditanyakan?” ibu berhenti lalu menuju ke tempat duduknya disamping aku.

“apakah ibu tidak berkeinginan untuk nikah lagi?

Pertanyaan ini seakan memberikan siksaan berat bagi ibu. Ibu langsung diam dan tidak berbicara lagi dan tatapanya jauh memandang kedepan. Rambut ibu disapu oleh angin pun tidak ibu hiraukan. Ibu tampak memikirkan jawaban yang berat. `

“kenapa kamu bertanya seperti ini Ina?”

“aku melihat ibu melakukan semuanya tanpa pendamping hidup. Aku sebagai anak merasa kasihan dengan ibu. Aku sudah jauh dengan ibu, aku sedang belajar di kota dan ibu sendirian di rumah ini. Aku khawatir dengan keadaan ibu” kali ini aku mulai berbicara tegas  dan mulai meyakinkan ibu.

“Ina, apa yang kamu bilang itu benar adanya. Namun satu hal yang kamu mesti tahu. Mencari pendamping hidup bukan perkara yang gampang segampang membalikkan telapak tangan. Kita sebagai perempuan harus menyiapkan segala sesuatu dengan cukup mapan lalu kita bisa menikah Ina. Menikah bukalah perkara hal yang muda” jelas ibu yang membuat aku kaku seketika. Aku tidak bisa menaham air mataku. Air mataku jatuh tanpa diundang. Aku merasakan apa yang ibu beritahu ini telah terlambat. Hatiku hancur sehancurnya dikoyak oleh kata-kata dari ibu.

“namun kenapa ibu menutup-nutupi bapa? Apakah ibu tidak melakukan apa yang ibu katakana itu? Dan dimana keberadaan bapa? Bapa dimana ibu? Seketika air mataku jatuh tidak tertahankan lagi. “sedari dulu ibu tidak pernah bercerita tentang sosok bapa kepadaku! Ibu, apakah ba….” belum selesai aku berbicara ibu langsung memotong pembicaraanku

“Ina! Sudah cukup!” ibu dengan nada tegasnya menjawab aku “kamu tidak mengalami apa yang ibu rasakan Ina. Hanya ada luka Ina. Ibu selalu merindukan dia. Dulu apapun yang ibu minta pasti diberikan oleh bapamu, sehingga ibu jatuh hati dengan dia. Dan karena itu, ibu memberikan cinta ibu pada bapamu  dan juga diri ibu seutuhnya kepada bapamu. Namun setelah mendengar ibu mengandung dirimu, bapamu pergi entah kemana dan hingga sekarang mama juga tidak tahu keberadaan dari bapamu. Sekarang dia hanya menjadi laki-laki pengecut dengan lidah yang begitu manis. Ini alasan kenapa ibu tidak ingin menikah lagi, karena ibu trauma dengan kejadian itu dan hingga sekarang ibu bahagia menikamti sisa hidup ibu” jelas ibu yang membuat aku tidak bisa menahan dan jatuh berlutut di hadapan ibu. Aku menangis sejadi-jadinya hingga membasahi kaki ibu dengan air mataku. Aku tidak bisa membayangkan betapa tersiksa ibu waktu itu.

“mengapa ibu baru sekarang memberitahu aku?” sementara aku bertanya, ibu membangunkan aku dan memeluk diriku dengan eratnya.

“ibu hanya ingin melihat dirimu berhasil menjadi perempuan dengan pekerjaan yang tetap. Ibu tidak ingin kamu menjadi seperti ibu, Ina” jelas ibu sembari meneteskan air matanya.

Senja sudah beranjak dan malam datang menjemput sunyi di anatara aku dan ibu. Tubuhku seakan kaku dan tidak bisa bergerak mendengar penjelasan dari ibu. Air mataku tidak berhenti jatuh membasahi pipiku. Tangisku memecah kesunyian yang datang. Mengapa demikian tersiksa hidupku. Aku bergumam dalam hati. Mungkin kali ini hatiku adalah tempat aku mencurahkan hatiku dalam beberapa menit kedepan untuk mengusir pikiranku.

“sudahlah ina, kita sudahi masa lalu ibu ini. Ayo makan. Ibu sudah masak nasi dan tempe goreng tadi” ibu memang kuat. Dalam situasi apapun ia akan tetap tegar. Lalu ibu bangun dari tempat duduknya. Namun aku memegang tangan ibu saat ibu melangkah meneju dapur.

“ibu, terima kasih sudah membesarkan anakmu ini. Aku sangat berterimaksih atas kesabaran dan kestiaan dalam keluarga kecil ini ibu” aku mulai bangun dari tempatku dan beridiri dihadapan ibu.

Ibu hanya senyum kecil kepadaku sembari membelai rambutku. Seketaika membuat aku nyaman sesaat. “ibu aku ingin terus terang kepada ibu. Ibu aku hamil” jelasku.

Seketika itu, tatapan ibu kosong. Tubuhnya kaku.

“ibuuu…” teriakku menahan tubuh ibu.

“Ina, apakah dia ingin bertanggung jawab? Kalau dia ingin bertanggung jawab. Beritahu dia datang dan berumah tangga di rumah ini sampai kalian tua kelak” bisik ibu diteligaku lalu ibu bangun dan mengajak aku untuk makan malam

“ iyaa besok dia akan datang melamar aku ibu”

“baiklah ibu akan menyiapkan yang terbaik untukmua Ina” jawab ibu

Saat kejadian itu,  ibu selalu terbuka dengan aku dengan apa yang ibu alami dan rasakan. Aku merasa aku dan ibu bisa sedekat ini. Aku sangat menyayangi ibu. 

             

 

 

Kamis, 05 Desember 2024

 

Molan1

(jofankleden)


(ilustrasi dari google)

 

            Belum selesai meneguk kopi di sore hari, om Kobus terkejut dengan kedatangan warga ke rumahnya untuk meminta bantuan. Om Kobus terkenal dengan ilmu mengusir menaka2 di kampungnya. Setiap kali ada warga yang Blodin3 pasti warga kampung ke rumanya untuk meminta bantuannya. Om Kobus selalu diparcayai oleh warganya semenjak ia mengusir setan yang ada didalam tubuh mama Marta.

            “om Kobus, om Kobus!!” teriak warga kampung yang sudah berada di depan rumah om Kobus.

            Om Kobus terkejut, lalu membenarkan kain Lipa4 berwarna ungu tua dan hijau tua kesayangannya lalu berlari kedepan rumahnya meninggalkan kopi yang baru ia seruput tiga kali untuk melihat siapa yang memanggil dia.

“om bisa tolong kami ka?  ina Peni blodin di rumahnya” pinta warga kepada om Kobus    

“aduh kasihan ee.., kalian ada dengar anjing melolong ka didekat pohon tuak tadi?”

“iya om, tadi anjing melolong panjang dan terus-menerus, sekitar jam empat lewat” ujar Domi anak ina Peni

“tunggu saya siap-siap dulu, kalian tunggu sebentar di depan rumah” jawab om Kobus lalu pergi kedalam rumah untuk mengganti pakiannya.

Om Kobus terkenal bukan hanya karena ia dapat mengusir menaka namun dihadapan warga di kampungya, ia adalah seorang yang baik hati serta suka menolong orang-orang yang sedang tertimpa nasib malang. Suatu waktu, bapak Petu dan keluarga tertimpa nasib malang, hasil panen tahunan gagal total sehingga membuat keluarganya bapak Petu mengutang di tetangga. Melihat kejadian itu, om Kobus merasa kasihan dengan apa yang dialami keluarga bapak Petu. Dengan inisiatif om Kobus mengambil sebagian hasil panennya dan diberikan kepada keluarga bapak Petu. Saat itu, banyak orang sering membicarakan kebaikan yang dilakukan oleh om Kobus.

“om bagaimana dengan keadaan ina Peni?” Tanya ama Tomi suami dari ina Peni kepada om Kobus

“dia su aman ama, intinya dia jangan terlalu capek, kalau dia capek orang bisa buat dia, ama. biasanya orang yang capek dan pikiran kosong itu, menaka suka sekali untuk masuk ke tubuh karena gampang dirasuki” jelas om Kobus setelah selesai mengusir menaka didalam tubuh ina Peni.

Setelah mengusir roh jahat dari dalam tubuh ina Peni. Kebiasaan orang kampung, ketika seseorang telah membantu pasti akan diberikan jamuan berupa minuman untuk menjadi tanda ucapan terimkasih. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun yang telah dijaga erat hingga saat ini. Sama halnya yang dilakukan ama Tomi kepada om Kobus dan sambil bercerita.

 “om, boleh tahu siapa yang masuk di ina Peni tadi?” Tanya ama Tomi

“itu menaka, ada orang kampung kita sendiri. jadi selalu jaga ina karena mereka tidak suka dengan keluarga kalian. saya tidak bisa kasih tau siapa dia ama, intinya kalian harus selalu jaga diri baik-baik” jelas om Kobus sambil menyeruput kopi pahit kesukaan dia.

***

            Dua minggu setelah keajadian ina Peni. Om Kobus jatuh sakit, ia seorang diri merawat dirinya sendiri. Om Kobus hidup sebatang kara, disaat istrinya meninggal dunia lima tahun lalu karena sakit. Istrinya meninggal disaat anak laki-laki tunggal lolos seleksi akademi tentara. Di saat bersamaan, banyak orang mengaitkan kejadian itu dengan menaka, ketika ada orang yang berhasil maka senjata paling ampuh bagi menaka adalah dengan membuat seseorang itu berada dalam kesialan bahkan hingga meninggal. Saat kejadian itu, banyak orang mengait-ngaitkan dengan anaknya om Kobus dan istrinya om kobus namun om Kobus menepis isu itu dengan mengatakan bahwa semua orang akan dipanggil Tuhan dan Tuhan punya rencana besar bagi umatNya.

            Mendengar kabar om Kobus jatuh sakit, om Banus selaku ketua dusun langsung pergi menjenguk om Kobus. Om Kobus merasa senang karena ada orang yang menyempatkan dirinya untuk melihat keadaanya. Om Kobus terbaring lemah di tempat tidurnya. Ia tidak bangun karena kakinya tidak bisa digerakan. Om Kobus merasa bersyukur karena anaknya tidak melupakanya. Anaknya jugas sering mengirim uang untuk kebutuhan dari om Kobus.

            “om Kobus punya keadaan bagaimana?” Tanya bapa Urban

            “saya baik-baik saja bapa. ini sakit biasa saja.tapi kaki saya susah untuk digerakan” jawab om Kobus sambil senyum kecil

            “saya dengar dari ama Tomi waktu pulang dari rumahnya. om Kobus lewat depan rumahnya om Beni. om Kobus sempat tegur dia tapi dia tidak balas tegur om Kobus. saya dengar juga dia juga molan me’an5 di kampung kita ini. siapa saja yang dia tidak suka pasti dia cari cara untuk ganggu hingga meninggal” jelas bapa Urban yang sedang duduk mengisap rokonya.

            Om Beni terkenal dengan ilmu molan yang sama dengan om Kobus di kampung. Namun ilmunya ini tidak digunakan dengan baik untuk membantu orang. Om Beni menggunakan ilmunya untuk mencelakakan orang demi apa yang ia inginkan. Setiap kali, anjing melolong sore hari di depan tuak, didekat rumah om Beni berarti ada orang yang akan sakit atau ada orang yang akan meninggal dunia. Sudah tiga kali orang meninggal saat anjing melolong didepan rumah dekat pohon tuak, pertama Om Yunus meninggal dunia saat pulang bawa hasil panen, lalu oma Yustina meninggal didalam kamarnya sendiri dan istri dari om Kobus sakit lalu meninggal saat anaknya lulus akademi tentara. Orang-orang mulai mengaitkan peristiwa itu karena tepat dirumanya om Beni anjing selalu melolong.

            “memang di sore hari anjing banyak melolong. kita di kampung masih kental dengan budaya jadi wajar kalo anjing melolong begitu. tidak apa-apa, bapa Urban” jelas om Kobus.

            Bapa Urban dan om Kobus mulai mengisap rokok dan mulai bercerita tentang kampung mereka. Mereka merasa akhir-akhir ini kampung mereka begitu plate6 dan banyak sekali yang sakit lalu meninggal dunia. Mereka berdua sempat berunding untuk meminta tetua adat untuk melakukan seremonial adat agar  lewo glete7.

***

            Setelah sembuh dari sakit, bapa Urban lalu datang ke rumah om Kobus untuk segera menyampaiakan perihal permohonan mereka untuk milihat kampung. Sesampainya di rumah tetua adat, perundingan dimulai, percakapan mereka makin elot dan lama. Satu jam lebih mereka berbicara kapan dan apa saja yang harus disiapkan untuk glete lewo. Setelah perundingan itu selesai gong di kampung mulai dibunyikan untuk memanggil kepala suku untuk berbicara adat.

            Tepat dihari jumat sore semua orang dalam kampung berhenti dari segala aktivitas rumah, kebun dan disekolah. Semua orang wajib  mengikuti serangkaian acara adat untuk mendapat berkat dari leluhur agar bisa terjaga dari marabahaya.

            Setiap suku sudah disampaikan untuk membawa hasil panen lalu dipersembahkan kepada ama rera wulan ina tana ekan8. Setelah semua hasil panen dikumpulkan, tetua ada memulai dengan acara puncak dengan memotong babi satu ekor dan darahnya akan diberi tanda pada dahi setiap orang kampung.

            Semua orang kampung ikut merayakan acara adat kampung mereka dan merasa bahagia. Namun berbanding terbalik dengan om Beni. Om Beni tidak sempat hadir acara adat karena sakit yang dialaminya sebelum acara adat berlangsung.

            “om Kobus, om Beni ada dimana. acara adat sesakral ini dia tidak sempat hadir” Tanya ama Tomi ke om Kobus

            “om Beni kayaknya lagi sakit berat. dia sakit dari hari rabu sore. nanti kita pergi kunjung dia saja” om Kobus sebagai mola juga sudah mengetahui alasan kenapa om Beni tidak hadir namun om Kobus menyembunyikan rahasia ini karena, ia takut warga akan marah kepada om Beni.

            “baik om Kobus, mari kita rayakan acara adat kita” ujar ama Tomi.

            Jam menunjukan pukul tujuh malam. Om Kobus beserta beberapa laki-laki kampung masih berada di rumah adat. Mereka masih menikmati tuak putih yang disediakan. Banyak perbincangan yang mereka bicarakan, canda dan tawa tergurat di atas pipi mereka. Bagi mereka momen ini paling dinantikan karena acara adat ini dapat mempersatukan tali persaudaraan warga kampung. Belum sempat meneguk tuak putih, anjing melolong keras didepan pohon tuak dekat rumah om Beni. Ina Peni berlari ke arah om Kobus dan beberapa laki-laki.

            “aduh om, om mereka tolong lihat om Beni dulu. Om Beni blodin di dia punya rumah” ina Peni terengah-engah berlari untuk memberitahu om Kobus dan para lelaki kampung.

            “aiyaaa, dia blodin dari tadi ka ina?” Lukas bertanya dengan wajah penuh cemas.

            “mari, kita lihat dia di rumanhya” tegas om Kobus

Mereka semua beranjak dan meninggalkan segala sesuatu di rumah adat. Sebelum mereka pergi om Kobus meminta restu leluhur dan Tuhan untuk bisa membantu dia mengusir roh jahat yang ada di dalam tubuh om Beni. Setibanya mereka di rumah om Beni. Om Beni mulai takut melihat dengan kedatangan om Kobus.

“Kobus kau buat apa disini, pergi kau!! kau kira saya tidak tahu kau”

“kau siapa yang berani masuk ke tubuhnya Beni?” Tanya om Kobus saat dirinya berdiri tepat dihadapannya.

“saya yang buat kalian semua mati di kampung ini” jawab om Beni dengan suara berat

“semua orang bisa keluar, biarkan saya dan Beni sendiri di dalam kamar. sebelum itu, bisa ambil salib, garam, sirih kasih ke saya”

Semua orang mengikuti arahan dari om Kobus. Semua orang keluar dan meninggalkan om Kobus dan om Beni di dalam kamar. Mereka khawatir apa yang akan yang terjadi kepada om Kobus dan Om Beni karena hampir satu jam mereka menantikan pintu dibuka. Namun, selang beberapa saat om Kobus keluar dan memberitahu bahwa om Beni talah meninggal dunia. Om Beni sempat menyapaikan permohonan maaf kepada seluruh warga atas ketidaknyamanan yang ia buat selama ini. Om Kobus sempat mengeluarkan air mata disaat mendengar pernyataan dari om Beni bahwa yang membunuh istrinya adalah om Beni sendiri. Namun om Kobus berlapang dada menerima semua kenyataan yang ada.

“om Beni berpesan nanti jenasahnya akan disemayamkan didekat ibunya” ungkap Om Kobus menahan haru di hadapan warga.

            Dan pada hari pemakaman keluarga dari om Beni tidak ada satupun yang datang untuk menjenguk. Merasa iba dengan kejadian itu, om Kobus mengatakan akan menanggung semua biaya pemakaman om Beni.

            Setelah kajadian itu, anjing di kampung mereka sudah jarang melolong dan anak-anak sudah bermain dengan senang di lapangan bola didekat rumah om Beni.

 

ket:

1 molan                  : dukun

2 menaka               : setan/suanggi

3 blodin                  : kesurupan

4 lipa                     : kain sarung

5 molan me’a        : dukun merah

6 plate                   : panas

7 lewo glete          : kampung dingin

8 ama rera wulan ina tana eka        : Tuhan langit dan bumi

 

 

Selasa, 03 Desember 2024

 

Terlahir untuk Terluka

(jofankleden)

 


Suasana rumah saat ini mulai hening. Tidak ada percakapan yang terdengar. Bahkan suara nyamuk terdengar sangat jelas. Biasanya di sore hari keluarga Anto duduk di meja makan untuk minum kopi bersama, kini tidak seorangpun yang duduk di meja makan semenjak kejadian pagi hari tadi.

 “kenapa sikapmu mulai berubah? apa ada yang salah?” Ungkap Peni dengan nada tinggi.

“apakah kau bisa diam?” tanggap Lukas dengan menahan emosinya

“aku tidak bisa diam sedangkan sikap yang kau berikan hari ini sungguh berbeda Lukas!”

            Lalu Lukas  memilih untuk pergi meninggalkan istri dan anaknya untuk menghidari pertengkaran. Karena tipikal dari Lukas adalah laki-laki yang ringan tangan. Bekas luka memar pada istrinya minggu lalu belum sembuh total.

            Pintu depan dibanting begitu keras oleh Lukas hingga membangunkan Anto yang sedang tidur. Seketik rumah mulai hening. Pikiran Peni mulai kacau, ia takut kalau Anto mendengar kejadian ini akan membuat anak semata wayangnya itu tertekan dengan keadaan yang ada.

            “ema, bapa kenapa?” Tanya Anto setengah sadar.

            “bapa biasa begitu no. kembali tidur sudah sayang. pasti sebentar bapa balik lagi” bujuk Peni agar Anto kembali tidur.

             Anton kembali ke kamar lalu mulai memikirkan pertengkaran – pertengkaran kedua orang tuanya. Pertengkaran kedua orang tuanya yang bermula saat Anto hadir bersama mereka. Anto sempat berpikir,  kehadirannya hanya keterpaksaan untuk menyatukan cinta yang tak pernah ada. Anto hadir sebagai lambang keterpaksaan cinta antara Lukas dan Peni.

            Di dalam kamar Anto tidak bisa tidur lagi. Anto selalu berimajinasi tentang pertanyaan-pertanyaan  kenapa cinta tidak mempersatukan? kenapa ibu dan bapaknya sering kali bertengkar mulai dari hal-hal yang kecil hingga merambat ke pertengkaran yang besar. Mengapa anak yang dilahirkan tidak bisa memilih calon orang tuanya? Anto merasa ia dilahirkan hanya untuk terluka. Ia merasa Tuhan hanya mempermainkan dirinya.

            Menjelang  malam, Peni mengajak anaknya Anton untuk makan bersama. Suasana saat makan malam itu terasa begitu canggung. Antara penasaran dan ketakukan melanda pikiran dan hati Anto untuk sekedar berbicara dengan ibunya. Namun Anto sebagai anak laki-laki tunggal harus mengetahui apa yang sedang terjadi. Anto bukan anak kecil lagi yang setiap masalah harus disembunyikan dari dia.

            Anto mulai berhenti makan dan menguatkan hatinya untuk bertanya kepada ibunya.

            “ema, apa yang sebanarnya terjadi? kenapa bapa sering berperilaku begitu ke ema?” Tanya Anto yang sedang menelan sisa makanan yang Anto makan.

            “no. bapa baik-baik saja. bapa hanya masih muda. intinya masalah apapun harus bisa omong baik-baik no” jawab Peni untuk menguatkan hati anak semata wayangnya.

            “baru minggu lalu dia pukul ema. lalu ini hari dia bentak-bentak ema lalu dia pergi saja. apakah itu yang dinamakan kepala keluarga yang baik? entah apa yang menyerang Anto. Anto dengan sadar dan tidak sadar berkata dengan tegas kepada ibunya.

            “Anto!! kau urus saja sekolahmu” Peni mulai nada tinggi. Peni seorang yang temperamental. Peni mudah marah dengan siapa saja bahkan dengan anaknya sendri. Ia kadang marah dengan hal-hal kecil bahkan yang dilakukan suaminya ia sering kali meluapkan amarahnya dengan nada tinggi.  

            Anto merasa diri salah dalam keadaan ini. Ia bangkit berdiri dan pamit untuk pergi istirahat. Ia merasa dirinya sudah menyinggung perasasaan ibunya sehingga membuat ibunya bernada tinggi kepadanya.

            Belum sempat Anto mentutup pintu kamarnya terdengar ketukan keras di depan pintu rumah. Anto sudah megetahui bahwa ayahnya sudah pulang dan dalam keadaan mabuk. Benar saja belum ia merebahkan diri di kasur ia mendengar teriak keras dari luar rumah. Pikirannya sudah mulai kacau. Anto mulai takut dengan keadaan seperti ini. Ketika di sekolah Anto sering kali tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah. Ia sering kali diejek lemah dan penakut.

            “Peni, buka  pintu! kalau kau tidak buka saya dobrak ini pintu!” nada berat itu mulai mengancam Peni untuk membuka pintu rumah.

Peni sudah berulang kali merasakan apa yang kerap kali terjadi pada dirinya di saat suaminya Lukas pulang dalam keadaan mabuk. Peni sudah tahu bahwa peristiwa ini akan menjadi peristiwa yang kesekian kalinya dan membiarkan dirinya untuk terluka lagi.

Pengalaman membuat dirinya tahu tentang sifat suaminya. Ketika suaminya pulang dalam keadaan mabuk pasti saja ada keributan yang terjadi. Menjadi sasaran itu ialah dirinya sendiri. Bahkan ketika Lukas dalam kondisi normal ia sering kali berkata kasar lalu kemudian berjanji ia tidak akan berbuat hal seperti itu lagi. Hal seperti itu sudah terjadi sebelum Anto lahir dan berlanjut terus hingga Anto sudah berumur tujuh belas tahun.

Peni membukan pintu untuk Lukas. Belum sempat pintu itu terbuka lebar, Lukas dengan cepat menampar pipi dari Peni yang membuat Peni tersungkur ke lantai. Suara tamparan itu memnuat Anto semakin takut untuk membukakan pintu kamarnya namun didalam hatinya ia takut ibunya terluka lagi.

Keadaan semakin buruk ketika Anto mendengar ibunya mulai menangis. Di dalam kamarnya Anto tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil memeluk lutunya, Anto menangis karena merasa dirinya tidak bisa melindungi ibunya di saat ibunya membutuhkan kehadiran dirinya.

“kau itu perempuan pelacur Peni, yang hanya memberikan dirinmu untuk dinikmati saja” kalimat yang keluar dari mulut Anto membuat hati Peni terluka

“lalu kenapa kau memilih saya untuk menjadi istrimu?” Peni menguatkan dirinya.

“aku sebenarnya jijik dengan kau Peni. hanya karena anak yang kau lahir kan itu membuat aku dan kau hidup bersama. aku tidak mengingginkan anak itu. anak yang tidak diinginkan untuk dilahirkan, apa gunanya anak itu untuk kehidupan saya? hanya Menambah beb..” belum sempat Lukas menyelesaikan kalimatnya. Peni mangangkat tangan dan menampar Lukas dengan sangat keras.

“cukup!! kalau mau sakiti, sakiti saya saja. jangan kau bawah-bawah anakku. dia tidak bersalah” tegas Peni.

“perempuan tidak tau di untung!” timpal Lukas dengan satu kali tamparan yang membuat bibir Peni mengeluarkan darah.

            Mendengar itu, hati Lukas seakan-akan terlepas. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Isi hati dan pikirannya tidak bisa mengeja kalimat dengan baik. Hanya air mata yang tumpah dan membasahi pipinya. Lukas memukul dadanya agar dapat  menahan sakit yang ada di hatinya. Rambut acak-acakan membuat malam itu seperti orang gila yang ingin bebas dari rasa sakit.

            Suara tangisan dan teriakan dari ibunya semakin kuat. Hingga ia mendengar pecahan-pecahan piring dan gelas semakin banyak. Anto bangun dari duduknya, lalu ia memberikan dirinya kepada Tuhan agar bisa diampuni karena ia lahir untuk menebus luka-lukanya.

            Anto memberanikan diri untuk membukankan  pintu kamarnya. Anto melihat kekacuan yang sedang terjadi. Rumahnya begitu kacau, kaca jendela pecah, piring dan gelas pesah dan berserakan di dalam ruang keluarga. Terlihat ibunya berlumuran darah di bibirnya dan lebam pada kedua tangannya.

            Anto berjalan pelan ke dapur tanpa melihat kejadian yang menimpah ibunya. Anto mencari pisau dapur. Ia ingat bahwa kata-kata dari ibunya saat ayahmu pulang dalam keadaan mabuk ibu selalu menyembunyikan pisau ini di bawah kulkas. Ibu hanya takut ketika ayahmu sudah kasar dia tidak segan-segan mencari benda tajam untuk melukai kita. Hal itu terbukti di tangan kiri ibu dengan luka sayatan dari Lukas ayahnya.

            Anto berhasil menemukan pisau yang disembunyikan ibunya. Anto kembali ke kamar dan melihat-lihat pisau kepunyaan ibunya.”ibu dengan pisau ini ibu tidak merasakan kesakitan lagi dan aku tidak terluka lagi”

            Anto keluar dari kamarnya lalu berlari mendekat ke ara ayah dan ibunya. Anto dengan penuh amarah menusuk perut ayah dihadapan ibunya, Lalu ibunya berteriak histeris tidak menyangka bahwa anak melakukan hal demikian.

            “ibu lebih baik begini, rasa sakit dan luka kita bisa terobati” ujar Anto di saat ayahnya jatuh dan meninggal.

           

  Suatu Hari di Beranda Rumah (jofankleden) (ilustrasi dari google)                 Ibu membuatkan aku teh dan ubi goreng kesukaanku. ...