Jumat, 13 Desember 2024

 

Suatu Hari di Beranda Rumah

(jofankleden)

(ilustrasi dari google)

 

             Ibu membuatkan aku teh dan ubi goreng kesukaanku. Kata ibu, ubi ini akan dijual namun mendengar kepulanganku, ibu menyimpannya untuk aku.

            Persis di depan beranda rumah, sawah milik ibu membentang luas. Padi yang ibu tanam, kini mulai tumbuh subur dari ujung kek ujung. Iya, ibu sendiri yang bekerja membuka lahan, menanam dan hasil panennya akan dijual untuk keperluan di dalam rumah. Ibu selalu mengandalkan hasil tanam.

            “Ibu, bagaiman hasil panen padi tahun ini ibu?

            “Panen kali ini lumayan menguntungkan ina. Ibu sudah beli TV untuk hiburan disaat ibu sedang beristirahat”

            Tipikal dari ibuku ialah ia seorang tidak suka banyak bicara. Ia akan diam saja bila tidak ada yang mengajaknya berbicara. Bahkan aku sendiri. Ibu lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja dibandingkan bercerita tentang hiruk-pikuk kehidupan. Pesan-pesan kehidupan yang aku terima, mungkin bisa dihitung dengan jari. Ibu hanya memberitahu pesan-pesan itu melalui tindakan nyatanya. Sehingga aku dapat belajar dari ibuku tentang arti sebuah kesetiaan untuk merawat - merawat kesedihan dan merawat kerinduan melalui perbuatan ibu.

            Ibu juga tidak perah terbuka tentang masa lalunya. Setiap kali aku bertanya tentang sosok ayah, ibu selalu memilih untuk menghindar. Entah, apa yang terjadi pada masa lalu ibu? Pertanyaan-pertanyaan brutal kerap kali menganggu pikiranku. Namun semua pertanyaan-pertanyaan itu, aku pendam sedalam mungkin karena aku tidak ingin melihat ibuku menangis lagi.

            Ibu Pernah menangis dipojokan kamar saat memandang sebuah foto usang. Waktu kejadian itu,  aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Aku masuk ke kamar tanpa ijin untuk sekedar melihat keadaan ibu. Ibu yang sedang menangis lalu melihat kedatanganku dengan cepat ibu berpura-pura menyeka air matanya untuk menunjukkan disaat itu tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Lalu ibu memelukku dengan erat dan berkata. Ibu akan selalu baik-baik saja bila ada Ina disamping ibu. Ina selalu menjadi pelita bagi ibu disaat gelap datang merebut cahaya dari ibu. Sejak saat itu, ibu selalu menangis dipojokan kamarnya.

            “Ibu, apakah ibu masih ingat. Waktu aku jatuh di pematang sawah. Tepat didekat orang-orangan sawah itu ?” Aku mulai mengingat-ingat masa lalu bersama ibu dan bertanya pada ibu.

            “iya, dulu ina sering main-main di lahan sawah. Kadang membuat ibu repot mengurusi ina” jawab ibu sambil menyeruput teh buatannya.

Aku mengenang masa lalu bersama ibu. Ibu selalu saja memarahiku ketika aku melakukan sebuah kesalah kecil. Ibu akan melarangku jika itu salah. Suatu waktu, aku tidak sengaja menjatuhkan gelas antik hingga pecah– entah siapa menghadikan gelas itu kepada ibu. Ibu begitu marah dengan kejadian itu. Selama satu minggu penuh ibu tidak sedikit pun menegurku hanya karena gelas antiknya itu. Semenjak kejadian itu, aku selalu berhati-hati untuk melakukan sesuatu.

Semenjak aku pergi untuk mengenyam pindidikan di kota, komunikasi antara ibu dan aku tidak berjalan dengan baik. Ibu selalu sibuk menanam padi dan sibuk mengurus rumah sedangkan aku sibuk dengan urusan pendidikanku. Namun disela-sela kesibukan, aku menyempatkan diri untuk menelepon ibu namun perbincangan kami tidak lama dan tidak intens karena ibu selalu mengatakan ibu sedang sibuk bekerja. Aku bersyukur bisa mendengar suara ibu walaupun hanya sebentar.

Senja mulai memberikan cahayanya. Tidak heran lagi, mengapa ibu membuat beranda rumah kami di sini. Karema tempat ini memberikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Belum sempat memanjakan mata dengan pemandangan senja ibu bangun dari tempat duduknya dan beranjak masuk kedalam rumah.

“ibu mau kemana?” tanyaku saat ibu mulai masuk kedalam rumah.

“sudah sore. Ibu biasanya menyempatkan diri untuk doa” jawab ibu sembari masuk kedalam rumah.

Aku tidak tahu persis kapan ibu mulai berdoa di dalam rumah. Seperti biasa aku mengintip melalui pintu rumah dan melihat ibu sedang berdoa. Ibu sangat khusyuk berdoa. Tangan ibu erat memegang Rosario seperti memegang tangan bayi yang tidak ingin dilepas. Tidak ada kata yang terucap dari mulut ibu, mungkin ibu berbicara dengan Tuhan melalui hatinya. Hanya ibu lilin dan patung keluarga kudus yang menemani ibu disaat ibu sedang berdoa.

Sekitar setengah jam ibu berdoa. Setelesai berdoa, ibu langsung membereskan pojok doa. Ibu tidak lengsung duduk bersama aku di beranda namun ibu melanjutkan pekerjaannya yang belum beres. Ibu terlihat nyaman dengan pekerjaannya. Aku sempat berpikir apakah dikemudian hari aku sebagai istri akan sesibuk ini? Atau mungkin karena ibu hanya sebatangkara lalu ibu yang melakukan semua pekerja ini?

“Ina, cepat minum tehmu. Nanti dingin”

“iya ibu”

Aku sebagai anak tunggalnya merasa kasihan dengan apa yang ibu alami. Aku tidak tega melihat ibuku melakukan semua sendiri. Aku pernah berdiskusi dengan ibu soal mengapa ibu tidak ingin nikah lagi. Namun tidak ada jawaban dari ibu. Entah apa yang terjadi pada ibu. Ibu memilih pergi dan melanjutkan pekerjaan ibu.

“ibu” panggilku

“Iya ina” jawab ibu yang sedang menanak nasi.

“ibu apakah aku bisa bertanya? Mungkin pertanyaan ini sudah sering aku Tanya pada ibu” aku meyakinkan diri untuk bertanya. Dan hari ini aku akan harus tahu jawabannya walaupun aku memaksa ibu untuk menjawab.

“iya ina, apa yang mau ditanyakan?” ibu berhenti lalu menuju ke tempat duduknya disamping aku.

“apakah ibu tidak berkeinginan untuk nikah lagi?

Pertanyaan ini seakan memberikan siksaan berat bagi ibu. Ibu langsung diam dan tidak berbicara lagi dan tatapanya jauh memandang kedepan. Rambut ibu disapu oleh angin pun tidak ibu hiraukan. Ibu tampak memikirkan jawaban yang berat. `

“kenapa kamu bertanya seperti ini Ina?”

“aku melihat ibu melakukan semuanya tanpa pendamping hidup. Aku sebagai anak merasa kasihan dengan ibu. Aku sudah jauh dengan ibu, aku sedang belajar di kota dan ibu sendirian di rumah ini. Aku khawatir dengan keadaan ibu” kali ini aku mulai berbicara tegas  dan mulai meyakinkan ibu.

“Ina, apa yang kamu bilang itu benar adanya. Namun satu hal yang kamu mesti tahu. Mencari pendamping hidup bukan perkara yang gampang segampang membalikkan telapak tangan. Kita sebagai perempuan harus menyiapkan segala sesuatu dengan cukup mapan lalu kita bisa menikah Ina. Menikah bukalah perkara hal yang muda” jelas ibu yang membuat aku kaku seketika. Aku tidak bisa menaham air mataku. Air mataku jatuh tanpa diundang. Aku merasakan apa yang ibu beritahu ini telah terlambat. Hatiku hancur sehancurnya dikoyak oleh kata-kata dari ibu.

“namun kenapa ibu menutup-nutupi bapa? Apakah ibu tidak melakukan apa yang ibu katakana itu? Dan dimana keberadaan bapa? Bapa dimana ibu? Seketika air mataku jatuh tidak tertahankan lagi. “sedari dulu ibu tidak pernah bercerita tentang sosok bapa kepadaku! Ibu, apakah ba….” belum selesai aku berbicara ibu langsung memotong pembicaraanku

“Ina! Sudah cukup!” ibu dengan nada tegasnya menjawab aku “kamu tidak mengalami apa yang ibu rasakan Ina. Hanya ada luka Ina. Ibu selalu merindukan dia. Dulu apapun yang ibu minta pasti diberikan oleh bapamu, sehingga ibu jatuh hati dengan dia. Dan karena itu, ibu memberikan cinta ibu pada bapamu  dan juga diri ibu seutuhnya kepada bapamu. Namun setelah mendengar ibu mengandung dirimu, bapamu pergi entah kemana dan hingga sekarang mama juga tidak tahu keberadaan dari bapamu. Sekarang dia hanya menjadi laki-laki pengecut dengan lidah yang begitu manis. Ini alasan kenapa ibu tidak ingin menikah lagi, karena ibu trauma dengan kejadian itu dan hingga sekarang ibu bahagia menikamti sisa hidup ibu” jelas ibu yang membuat aku tidak bisa menahan dan jatuh berlutut di hadapan ibu. Aku menangis sejadi-jadinya hingga membasahi kaki ibu dengan air mataku. Aku tidak bisa membayangkan betapa tersiksa ibu waktu itu.

“mengapa ibu baru sekarang memberitahu aku?” sementara aku bertanya, ibu membangunkan aku dan memeluk diriku dengan eratnya.

“ibu hanya ingin melihat dirimu berhasil menjadi perempuan dengan pekerjaan yang tetap. Ibu tidak ingin kamu menjadi seperti ibu, Ina” jelas ibu sembari meneteskan air matanya.

Senja sudah beranjak dan malam datang menjemput sunyi di anatara aku dan ibu. Tubuhku seakan kaku dan tidak bisa bergerak mendengar penjelasan dari ibu. Air mataku tidak berhenti jatuh membasahi pipiku. Tangisku memecah kesunyian yang datang. Mengapa demikian tersiksa hidupku. Aku bergumam dalam hati. Mungkin kali ini hatiku adalah tempat aku mencurahkan hatiku dalam beberapa menit kedepan untuk mengusir pikiranku.

“sudahlah ina, kita sudahi masa lalu ibu ini. Ayo makan. Ibu sudah masak nasi dan tempe goreng tadi” ibu memang kuat. Dalam situasi apapun ia akan tetap tegar. Lalu ibu bangun dari tempat duduknya. Namun aku memegang tangan ibu saat ibu melangkah meneju dapur.

“ibu, terima kasih sudah membesarkan anakmu ini. Aku sangat berterimaksih atas kesabaran dan kestiaan dalam keluarga kecil ini ibu” aku mulai bangun dari tempatku dan beridiri dihadapan ibu.

Ibu hanya senyum kecil kepadaku sembari membelai rambutku. Seketaika membuat aku nyaman sesaat. “ibu aku ingin terus terang kepada ibu. Ibu aku hamil” jelasku.

Seketika itu, tatapan ibu kosong. Tubuhnya kaku.

“ibuuu…” teriakku menahan tubuh ibu.

“Ina, apakah dia ingin bertanggung jawab? Kalau dia ingin bertanggung jawab. Beritahu dia datang dan berumah tangga di rumah ini sampai kalian tua kelak” bisik ibu diteligaku lalu ibu bangun dan mengajak aku untuk makan malam

“ iyaa besok dia akan datang melamar aku ibu”

“baiklah ibu akan menyiapkan yang terbaik untukmua Ina” jawab ibu

Saat kejadian itu,  ibu selalu terbuka dengan aku dengan apa yang ibu alami dan rasakan. Aku merasa aku dan ibu bisa sedekat ini. Aku sangat menyayangi ibu. 

             

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Suatu Hari di Beranda Rumah (jofankleden) (ilustrasi dari google)                 Ibu membuatkan aku teh dan ubi goreng kesukaanku. ...