Selasa, 03 Desember 2024

 

Terlahir untuk Terluka

(jofankleden)

 


Suasana rumah saat ini mulai hening. Tidak ada percakapan yang terdengar. Bahkan suara nyamuk terdengar sangat jelas. Biasanya di sore hari keluarga Anto duduk di meja makan untuk minum kopi bersama, kini tidak seorangpun yang duduk di meja makan semenjak kejadian pagi hari tadi.

 “kenapa sikapmu mulai berubah? apa ada yang salah?” Ungkap Peni dengan nada tinggi.

“apakah kau bisa diam?” tanggap Lukas dengan menahan emosinya

“aku tidak bisa diam sedangkan sikap yang kau berikan hari ini sungguh berbeda Lukas!”

            Lalu Lukas  memilih untuk pergi meninggalkan istri dan anaknya untuk menghidari pertengkaran. Karena tipikal dari Lukas adalah laki-laki yang ringan tangan. Bekas luka memar pada istrinya minggu lalu belum sembuh total.

            Pintu depan dibanting begitu keras oleh Lukas hingga membangunkan Anto yang sedang tidur. Seketik rumah mulai hening. Pikiran Peni mulai kacau, ia takut kalau Anto mendengar kejadian ini akan membuat anak semata wayangnya itu tertekan dengan keadaan yang ada.

            “ema, bapa kenapa?” Tanya Anto setengah sadar.

            “bapa biasa begitu no. kembali tidur sudah sayang. pasti sebentar bapa balik lagi” bujuk Peni agar Anto kembali tidur.

             Anton kembali ke kamar lalu mulai memikirkan pertengkaran – pertengkaran kedua orang tuanya. Pertengkaran kedua orang tuanya yang bermula saat Anto hadir bersama mereka. Anto sempat berpikir,  kehadirannya hanya keterpaksaan untuk menyatukan cinta yang tak pernah ada. Anto hadir sebagai lambang keterpaksaan cinta antara Lukas dan Peni.

            Di dalam kamar Anto tidak bisa tidur lagi. Anto selalu berimajinasi tentang pertanyaan-pertanyaan  kenapa cinta tidak mempersatukan? kenapa ibu dan bapaknya sering kali bertengkar mulai dari hal-hal yang kecil hingga merambat ke pertengkaran yang besar. Mengapa anak yang dilahirkan tidak bisa memilih calon orang tuanya? Anto merasa ia dilahirkan hanya untuk terluka. Ia merasa Tuhan hanya mempermainkan dirinya.

            Menjelang  malam, Peni mengajak anaknya Anton untuk makan bersama. Suasana saat makan malam itu terasa begitu canggung. Antara penasaran dan ketakukan melanda pikiran dan hati Anto untuk sekedar berbicara dengan ibunya. Namun Anto sebagai anak laki-laki tunggal harus mengetahui apa yang sedang terjadi. Anto bukan anak kecil lagi yang setiap masalah harus disembunyikan dari dia.

            Anto mulai berhenti makan dan menguatkan hatinya untuk bertanya kepada ibunya.

            “ema, apa yang sebanarnya terjadi? kenapa bapa sering berperilaku begitu ke ema?” Tanya Anto yang sedang menelan sisa makanan yang Anto makan.

            “no. bapa baik-baik saja. bapa hanya masih muda. intinya masalah apapun harus bisa omong baik-baik no” jawab Peni untuk menguatkan hati anak semata wayangnya.

            “baru minggu lalu dia pukul ema. lalu ini hari dia bentak-bentak ema lalu dia pergi saja. apakah itu yang dinamakan kepala keluarga yang baik? entah apa yang menyerang Anto. Anto dengan sadar dan tidak sadar berkata dengan tegas kepada ibunya.

            “Anto!! kau urus saja sekolahmu” Peni mulai nada tinggi. Peni seorang yang temperamental. Peni mudah marah dengan siapa saja bahkan dengan anaknya sendri. Ia kadang marah dengan hal-hal kecil bahkan yang dilakukan suaminya ia sering kali meluapkan amarahnya dengan nada tinggi.  

            Anto merasa diri salah dalam keadaan ini. Ia bangkit berdiri dan pamit untuk pergi istirahat. Ia merasa dirinya sudah menyinggung perasasaan ibunya sehingga membuat ibunya bernada tinggi kepadanya.

            Belum sempat Anto mentutup pintu kamarnya terdengar ketukan keras di depan pintu rumah. Anto sudah megetahui bahwa ayahnya sudah pulang dan dalam keadaan mabuk. Benar saja belum ia merebahkan diri di kasur ia mendengar teriak keras dari luar rumah. Pikirannya sudah mulai kacau. Anto mulai takut dengan keadaan seperti ini. Ketika di sekolah Anto sering kali tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah. Ia sering kali diejek lemah dan penakut.

            “Peni, buka  pintu! kalau kau tidak buka saya dobrak ini pintu!” nada berat itu mulai mengancam Peni untuk membuka pintu rumah.

Peni sudah berulang kali merasakan apa yang kerap kali terjadi pada dirinya di saat suaminya Lukas pulang dalam keadaan mabuk. Peni sudah tahu bahwa peristiwa ini akan menjadi peristiwa yang kesekian kalinya dan membiarkan dirinya untuk terluka lagi.

Pengalaman membuat dirinya tahu tentang sifat suaminya. Ketika suaminya pulang dalam keadaan mabuk pasti saja ada keributan yang terjadi. Menjadi sasaran itu ialah dirinya sendiri. Bahkan ketika Lukas dalam kondisi normal ia sering kali berkata kasar lalu kemudian berjanji ia tidak akan berbuat hal seperti itu lagi. Hal seperti itu sudah terjadi sebelum Anto lahir dan berlanjut terus hingga Anto sudah berumur tujuh belas tahun.

Peni membukan pintu untuk Lukas. Belum sempat pintu itu terbuka lebar, Lukas dengan cepat menampar pipi dari Peni yang membuat Peni tersungkur ke lantai. Suara tamparan itu memnuat Anto semakin takut untuk membukakan pintu kamarnya namun didalam hatinya ia takut ibunya terluka lagi.

Keadaan semakin buruk ketika Anto mendengar ibunya mulai menangis. Di dalam kamarnya Anto tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil memeluk lutunya, Anto menangis karena merasa dirinya tidak bisa melindungi ibunya di saat ibunya membutuhkan kehadiran dirinya.

“kau itu perempuan pelacur Peni, yang hanya memberikan dirinmu untuk dinikmati saja” kalimat yang keluar dari mulut Anto membuat hati Peni terluka

“lalu kenapa kau memilih saya untuk menjadi istrimu?” Peni menguatkan dirinya.

“aku sebenarnya jijik dengan kau Peni. hanya karena anak yang kau lahir kan itu membuat aku dan kau hidup bersama. aku tidak mengingginkan anak itu. anak yang tidak diinginkan untuk dilahirkan, apa gunanya anak itu untuk kehidupan saya? hanya Menambah beb..” belum sempat Lukas menyelesaikan kalimatnya. Peni mangangkat tangan dan menampar Lukas dengan sangat keras.

“cukup!! kalau mau sakiti, sakiti saya saja. jangan kau bawah-bawah anakku. dia tidak bersalah” tegas Peni.

“perempuan tidak tau di untung!” timpal Lukas dengan satu kali tamparan yang membuat bibir Peni mengeluarkan darah.

            Mendengar itu, hati Lukas seakan-akan terlepas. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Isi hati dan pikirannya tidak bisa mengeja kalimat dengan baik. Hanya air mata yang tumpah dan membasahi pipinya. Lukas memukul dadanya agar dapat  menahan sakit yang ada di hatinya. Rambut acak-acakan membuat malam itu seperti orang gila yang ingin bebas dari rasa sakit.

            Suara tangisan dan teriakan dari ibunya semakin kuat. Hingga ia mendengar pecahan-pecahan piring dan gelas semakin banyak. Anto bangun dari duduknya, lalu ia memberikan dirinya kepada Tuhan agar bisa diampuni karena ia lahir untuk menebus luka-lukanya.

            Anto memberanikan diri untuk membukankan  pintu kamarnya. Anto melihat kekacuan yang sedang terjadi. Rumahnya begitu kacau, kaca jendela pecah, piring dan gelas pesah dan berserakan di dalam ruang keluarga. Terlihat ibunya berlumuran darah di bibirnya dan lebam pada kedua tangannya.

            Anto berjalan pelan ke dapur tanpa melihat kejadian yang menimpah ibunya. Anto mencari pisau dapur. Ia ingat bahwa kata-kata dari ibunya saat ayahmu pulang dalam keadaan mabuk ibu selalu menyembunyikan pisau ini di bawah kulkas. Ibu hanya takut ketika ayahmu sudah kasar dia tidak segan-segan mencari benda tajam untuk melukai kita. Hal itu terbukti di tangan kiri ibu dengan luka sayatan dari Lukas ayahnya.

            Anto berhasil menemukan pisau yang disembunyikan ibunya. Anto kembali ke kamar dan melihat-lihat pisau kepunyaan ibunya.”ibu dengan pisau ini ibu tidak merasakan kesakitan lagi dan aku tidak terluka lagi”

            Anto keluar dari kamarnya lalu berlari mendekat ke ara ayah dan ibunya. Anto dengan penuh amarah menusuk perut ayah dihadapan ibunya, Lalu ibunya berteriak histeris tidak menyangka bahwa anak melakukan hal demikian.

            “ibu lebih baik begini, rasa sakit dan luka kita bisa terobati” ujar Anto di saat ayahnya jatuh dan meninggal.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Suatu Hari di Beranda Rumah (jofankleden) (ilustrasi dari google)                 Ibu membuatkan aku teh dan ubi goreng kesukaanku. ...