Terlahir untuk Terluka
(jofankleden)
Suasana rumah saat
ini mulai hening. Tidak ada percakapan yang terdengar. Bahkan suara nyamuk
terdengar sangat jelas. Biasanya di sore hari keluarga Anto duduk di meja makan
untuk minum kopi bersama, kini tidak seorangpun yang duduk di meja makan
semenjak kejadian pagi hari tadi.
“kenapa sikapmu mulai berubah? apa ada yang
salah?” Ungkap Peni dengan nada tinggi.
“apakah kau bisa
diam?” tanggap Lukas dengan menahan emosinya
“aku tidak bisa diam
sedangkan sikap yang kau berikan hari ini sungguh berbeda Lukas!”
Lalu
Lukas memilih untuk pergi meninggalkan
istri dan anaknya untuk menghidari pertengkaran. Karena tipikal dari Lukas
adalah laki-laki yang ringan tangan. Bekas luka memar pada istrinya minggu lalu
belum sembuh total.
Pintu
depan dibanting begitu keras oleh Lukas hingga membangunkan Anto yang sedang
tidur. Seketik rumah mulai hening. Pikiran Peni mulai kacau, ia takut kalau Anto
mendengar kejadian ini akan membuat anak semata wayangnya itu tertekan dengan
keadaan yang ada.
“ema,
bapa kenapa?” Tanya Anto setengah sadar.
“bapa
biasa begitu no. kembali tidur sudah sayang. pasti sebentar bapa balik lagi” bujuk
Peni agar Anto kembali tidur.
Anton kembali ke kamar lalu mulai memikirkan pertengkaran
– pertengkaran kedua orang tuanya. Pertengkaran kedua orang tuanya yang bermula
saat Anto hadir bersama mereka. Anto sempat berpikir, kehadirannya hanya keterpaksaan untuk
menyatukan cinta yang tak pernah ada. Anto hadir sebagai lambang keterpaksaan
cinta antara Lukas dan Peni.
Di
dalam kamar Anto tidak bisa tidur lagi. Anto selalu berimajinasi tentang
pertanyaan-pertanyaan kenapa cinta tidak
mempersatukan? kenapa ibu dan bapaknya sering kali bertengkar mulai dari
hal-hal yang kecil hingga merambat ke pertengkaran yang besar. Mengapa anak
yang dilahirkan tidak bisa memilih calon orang tuanya? Anto merasa ia
dilahirkan hanya untuk terluka. Ia merasa Tuhan hanya mempermainkan dirinya.
Menjelang
malam, Peni mengajak anaknya Anton untuk
makan bersama. Suasana saat makan malam itu terasa begitu canggung. Antara
penasaran dan ketakukan melanda pikiran dan hati Anto untuk sekedar berbicara
dengan ibunya. Namun Anto sebagai anak laki-laki tunggal harus mengetahui apa
yang sedang terjadi. Anto bukan anak kecil lagi yang setiap masalah harus
disembunyikan dari dia.
Anto
mulai berhenti makan dan menguatkan hatinya untuk bertanya kepada ibunya.
“ema,
apa yang sebanarnya terjadi? kenapa bapa sering berperilaku begitu ke ema?”
Tanya Anto yang sedang menelan sisa makanan yang Anto makan.
“no.
bapa baik-baik saja. bapa hanya masih muda. intinya masalah apapun harus bisa
omong baik-baik no” jawab Peni untuk menguatkan hati anak semata wayangnya.
“baru
minggu lalu dia pukul ema. lalu ini hari dia bentak-bentak ema lalu dia pergi
saja. apakah itu yang dinamakan kepala keluarga yang baik? entah apa yang
menyerang Anto. Anto dengan sadar dan tidak sadar berkata dengan tegas kepada
ibunya.
“Anto!!
kau urus saja sekolahmu” Peni mulai nada tinggi. Peni seorang yang
temperamental. Peni mudah marah dengan siapa saja bahkan dengan anaknya sendri.
Ia kadang marah dengan hal-hal kecil bahkan yang dilakukan suaminya ia sering
kali meluapkan amarahnya dengan nada tinggi.
Anto
merasa diri salah dalam keadaan ini. Ia bangkit berdiri dan pamit untuk pergi
istirahat. Ia merasa dirinya sudah menyinggung perasasaan ibunya sehingga membuat
ibunya bernada tinggi kepadanya.
Belum
sempat Anto mentutup pintu kamarnya terdengar ketukan keras di depan pintu
rumah. Anto sudah megetahui bahwa ayahnya sudah pulang dan dalam keadaan mabuk.
Benar saja belum ia merebahkan diri di kasur ia mendengar teriak keras dari
luar rumah. Pikirannya sudah mulai kacau. Anto mulai takut dengan keadaan
seperti ini. Ketika di sekolah Anto sering kali tidak bisa menyelesaikan
masalah-masalah. Ia sering kali diejek lemah dan penakut.
“Peni,
buka pintu! kalau kau tidak buka saya
dobrak ini pintu!” nada berat itu mulai mengancam Peni untuk membuka pintu
rumah.
Peni sudah berulang
kali merasakan apa yang kerap kali terjadi pada dirinya di saat suaminya Lukas
pulang dalam keadaan mabuk. Peni sudah tahu bahwa peristiwa ini akan menjadi
peristiwa yang kesekian kalinya dan membiarkan dirinya untuk terluka lagi.
Pengalaman membuat
dirinya tahu tentang sifat suaminya. Ketika suaminya pulang dalam keadaan mabuk
pasti saja ada keributan yang terjadi. Menjadi sasaran itu ialah dirinya
sendiri. Bahkan ketika Lukas dalam kondisi normal ia sering kali berkata kasar
lalu kemudian berjanji ia tidak akan berbuat hal seperti itu lagi. Hal seperti
itu sudah terjadi sebelum Anto lahir dan berlanjut terus hingga Anto sudah
berumur tujuh belas tahun.
Peni membukan pintu
untuk Lukas. Belum sempat pintu itu terbuka lebar, Lukas dengan cepat menampar
pipi dari Peni yang membuat Peni tersungkur ke lantai. Suara tamparan itu
memnuat Anto semakin takut untuk membukakan pintu kamarnya namun didalam
hatinya ia takut ibunya terluka lagi.
Keadaan semakin buruk
ketika Anto mendengar ibunya mulai menangis. Di dalam kamarnya Anto tidak bisa
berbuat apa-apa. Sambil memeluk lutunya, Anto menangis karena merasa dirinya
tidak bisa melindungi ibunya di saat ibunya membutuhkan kehadiran dirinya.
“kau itu perempuan
pelacur Peni, yang hanya memberikan dirinmu untuk dinikmati saja” kalimat yang
keluar dari mulut Anto membuat hati Peni terluka
“lalu kenapa kau
memilih saya untuk menjadi istrimu?” Peni menguatkan dirinya.
“aku sebenarnya jijik
dengan kau Peni. hanya karena anak yang kau lahir kan itu membuat aku dan kau
hidup bersama. aku tidak mengingginkan anak itu. anak yang tidak diinginkan
untuk dilahirkan, apa gunanya anak itu untuk kehidupan saya? hanya Menambah
beb..” belum sempat Lukas menyelesaikan kalimatnya. Peni mangangkat tangan dan
menampar Lukas dengan sangat keras.
“cukup!! kalau mau
sakiti, sakiti saya saja. jangan kau bawah-bawah anakku. dia tidak bersalah”
tegas Peni.
“perempuan tidak tau
di untung!” timpal Lukas dengan satu kali tamparan yang membuat bibir Peni
mengeluarkan darah.
Mendengar
itu, hati Lukas seakan-akan terlepas. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Isi hati
dan pikirannya tidak bisa mengeja kalimat dengan baik. Hanya air mata yang
tumpah dan membasahi pipinya. Lukas memukul dadanya agar dapat menahan sakit yang ada di hatinya. Rambut acak-acakan
membuat malam itu seperti orang gila yang ingin bebas dari rasa sakit.
Suara
tangisan dan teriakan dari ibunya semakin kuat. Hingga ia mendengar
pecahan-pecahan piring dan gelas semakin banyak. Anto bangun dari duduknya,
lalu ia memberikan dirinya kepada Tuhan agar bisa diampuni karena ia lahir
untuk menebus luka-lukanya.
Anto
memberanikan diri untuk membukankan pintu kamarnya. Anto melihat kekacuan yang
sedang terjadi. Rumahnya begitu kacau, kaca jendela pecah, piring dan gelas
pesah dan berserakan di dalam ruang keluarga. Terlihat ibunya berlumuran darah
di bibirnya dan lebam pada kedua tangannya.
Anto
berjalan pelan ke dapur tanpa melihat kejadian yang menimpah ibunya. Anto mencari
pisau dapur. Ia ingat bahwa kata-kata dari ibunya saat ayahmu pulang dalam
keadaan mabuk ibu selalu menyembunyikan pisau ini di bawah kulkas. Ibu hanya
takut ketika ayahmu sudah kasar dia tidak segan-segan mencari benda tajam untuk
melukai kita. Hal itu terbukti di tangan kiri ibu dengan luka sayatan dari
Lukas ayahnya.
Anto
berhasil menemukan pisau yang disembunyikan ibunya. Anto kembali ke kamar dan
melihat-lihat pisau kepunyaan ibunya.”ibu dengan pisau ini ibu tidak merasakan
kesakitan lagi dan aku tidak terluka lagi”
Anto
keluar dari kamarnya lalu berlari mendekat ke ara ayah dan ibunya. Anto dengan
penuh amarah menusuk perut ayah dihadapan ibunya, Lalu ibunya berteriak
histeris tidak menyangka bahwa anak melakukan hal demikian.
“ibu
lebih baik begini, rasa sakit dan luka kita bisa terobati” ujar Anto di saat
ayahnya jatuh dan meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar