Suatu Hari di Beranda Rumah
(jofankleden)
(ilustrasi dari google) Ibu membuatkan aku teh dan ubi goreng
kesukaanku. Kata ibu, ubi ini akan dijual namun mendengar kepulanganku, ibu
menyimpannya untuk aku.
Persis di depan beranda rumah, sawah
milik ibu membentang luas. Padi yang ibu tanam, kini mulai tumbuh subur dari
ujung kek ujung. Iya, ibu sendiri yang bekerja membuka lahan, menanam dan hasil
panennya akan dijual untuk keperluan di dalam rumah. Ibu selalu mengandalkan
hasil tanam.
“Ibu, bagaiman hasil panen padi
tahun ini ibu?
“Panen kali ini lumayan menguntungkan
ina. Ibu sudah beli TV untuk hiburan disaat ibu sedang beristirahat”
Tipikal dari ibuku ialah ia seorang tidak
suka banyak bicara. Ia akan diam saja bila tidak ada yang mengajaknya
berbicara. Bahkan aku sendiri. Ibu lebih sering menghabiskan waktunya untuk
bekerja dibandingkan bercerita tentang hiruk-pikuk kehidupan. Pesan-pesan kehidupan
yang aku terima, mungkin bisa dihitung dengan jari. Ibu hanya memberitahu
pesan-pesan itu melalui tindakan nyatanya. Sehingga aku dapat belajar dari ibuku
tentang arti sebuah kesetiaan untuk merawat - merawat kesedihan dan merawat
kerinduan melalui perbuatan ibu.
Ibu juga tidak perah terbuka tentang
masa lalunya. Setiap kali aku bertanya tentang sosok ayah, ibu selalu memilih
untuk menghindar. Entah, apa yang terjadi pada masa lalu ibu?
Pertanyaan-pertanyaan brutal kerap kali menganggu pikiranku. Namun semua
pertanyaan-pertanyaan itu, aku pendam sedalam mungkin karena aku tidak ingin
melihat ibuku menangis lagi.
Ibu Pernah menangis dipojokan kamar saat
memandang sebuah foto usang. Waktu kejadian itu, aku masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama. Aku masuk ke kamar tanpa ijin untuk sekedar melihat keadaan ibu. Ibu
yang sedang menangis lalu melihat kedatanganku dengan cepat ibu berpura-pura
menyeka air matanya untuk menunjukkan disaat itu tidak terjadi apa-apa pada
dirinya. Lalu ibu memelukku dengan erat dan berkata. Ibu akan selalu baik-baik
saja bila ada Ina disamping ibu. Ina selalu menjadi pelita bagi ibu disaat
gelap datang merebut cahaya dari ibu. Sejak saat itu, ibu selalu menangis
dipojokan kamarnya.
“Ibu, apakah ibu masih ingat. Waktu
aku jatuh di pematang sawah. Tepat didekat orang-orangan sawah itu ?” Aku mulai
mengingat-ingat masa lalu bersama ibu dan bertanya pada ibu.
“iya, dulu ina sering main-main di
lahan sawah. Kadang membuat ibu repot mengurusi ina” jawab ibu sambil
menyeruput teh buatannya.
Aku mengenang masa lalu bersama
ibu. Ibu selalu saja memarahiku ketika aku melakukan sebuah kesalah kecil. Ibu
akan melarangku jika itu salah. Suatu waktu, aku tidak sengaja menjatuhkan
gelas antik hingga pecah– entah siapa menghadikan gelas itu kepada ibu. Ibu
begitu marah dengan kejadian itu. Selama satu minggu penuh ibu tidak sedikit pun
menegurku hanya karena gelas antiknya itu. Semenjak kejadian itu, aku selalu
berhati-hati untuk melakukan sesuatu.
Semenjak aku pergi untuk
mengenyam pindidikan di kota, komunikasi antara ibu dan aku tidak berjalan
dengan baik. Ibu selalu sibuk menanam padi dan sibuk mengurus rumah sedangkan
aku sibuk dengan urusan pendidikanku. Namun disela-sela kesibukan, aku menyempatkan
diri untuk menelepon ibu namun perbincangan kami tidak lama dan tidak intens
karena ibu selalu mengatakan ibu sedang sibuk bekerja. Aku bersyukur bisa
mendengar suara ibu walaupun hanya sebentar.
Senja mulai memberikan cahayanya.
Tidak heran lagi, mengapa ibu membuat beranda rumah kami di sini. Karema tempat
ini memberikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Belum sempat memanjakan
mata dengan pemandangan senja ibu bangun dari tempat duduknya dan beranjak
masuk kedalam rumah.
“ibu mau kemana?” tanyaku saat
ibu mulai masuk kedalam rumah.
“sudah sore. Ibu biasanya
menyempatkan diri untuk doa” jawab ibu sembari masuk kedalam rumah.
Aku tidak tahu persis kapan ibu
mulai berdoa di dalam rumah. Seperti biasa aku mengintip melalui pintu rumah
dan melihat ibu sedang berdoa. Ibu sangat khusyuk berdoa. Tangan ibu erat
memegang Rosario seperti memegang tangan bayi yang tidak ingin dilepas. Tidak
ada kata yang terucap dari mulut ibu, mungkin ibu berbicara dengan Tuhan
melalui hatinya. Hanya ibu lilin dan patung keluarga kudus yang menemani ibu
disaat ibu sedang berdoa.
Sekitar setengah jam ibu berdoa. Setelesai
berdoa, ibu langsung membereskan pojok doa. Ibu tidak lengsung duduk bersama
aku di beranda namun ibu melanjutkan pekerjaannya yang belum beres. Ibu
terlihat nyaman dengan pekerjaannya. Aku sempat berpikir apakah dikemudian hari
aku sebagai istri akan sesibuk ini? Atau mungkin karena ibu hanya sebatangkara
lalu ibu yang melakukan semua pekerja ini?
“Ina, cepat minum tehmu. Nanti
dingin”
“iya ibu”
Aku sebagai anak tunggalnya
merasa kasihan dengan apa yang ibu alami. Aku tidak tega melihat ibuku
melakukan semua sendiri. Aku pernah berdiskusi dengan ibu soal mengapa ibu
tidak ingin nikah lagi. Namun tidak ada jawaban dari ibu. Entah apa yang
terjadi pada ibu. Ibu memilih pergi dan melanjutkan pekerjaan ibu.
“ibu” panggilku
“Iya ina” jawab ibu yang sedang
menanak nasi.
“ibu apakah aku bisa bertanya?
Mungkin pertanyaan ini sudah sering aku Tanya pada ibu” aku meyakinkan diri
untuk bertanya. Dan hari ini aku akan harus tahu jawabannya walaupun aku
memaksa ibu untuk menjawab.
“iya ina, apa yang mau
ditanyakan?” ibu berhenti lalu menuju ke tempat duduknya disamping aku.
“apakah ibu tidak berkeinginan
untuk nikah lagi?
Pertanyaan ini seakan memberikan
siksaan berat bagi ibu. Ibu langsung diam dan tidak berbicara lagi dan
tatapanya jauh memandang kedepan. Rambut ibu disapu oleh angin pun tidak ibu hiraukan.
Ibu tampak memikirkan jawaban yang berat. `
“kenapa kamu bertanya seperti ini
Ina?”
“aku melihat ibu melakukan
semuanya tanpa pendamping hidup. Aku sebagai anak merasa kasihan dengan ibu.
Aku sudah jauh dengan ibu, aku sedang belajar di kota dan ibu sendirian di
rumah ini. Aku khawatir dengan keadaan ibu” kali ini aku mulai berbicara tegas dan mulai meyakinkan ibu.
“Ina, apa yang kamu bilang itu
benar adanya. Namun satu hal yang kamu mesti tahu. Mencari pendamping hidup
bukan perkara yang gampang segampang membalikkan telapak tangan. Kita sebagai
perempuan harus menyiapkan segala sesuatu dengan cukup mapan lalu kita bisa
menikah Ina. Menikah bukalah perkara hal yang muda” jelas ibu yang membuat aku
kaku seketika. Aku tidak bisa menaham air mataku. Air mataku jatuh tanpa
diundang. Aku merasakan apa yang ibu beritahu ini telah terlambat. Hatiku
hancur sehancurnya dikoyak oleh kata-kata dari ibu.
“namun kenapa ibu menutup-nutupi bapa?
Apakah ibu tidak melakukan apa yang ibu katakana itu? Dan dimana keberadaan
bapa? Bapa dimana ibu? Seketika air mataku jatuh tidak tertahankan lagi.
“sedari dulu ibu tidak pernah bercerita tentang sosok bapa kepadaku! Ibu,
apakah ba….” belum selesai aku berbicara ibu langsung memotong pembicaraanku
“Ina! Sudah cukup!” ibu dengan
nada tegasnya menjawab aku “kamu tidak mengalami apa yang ibu rasakan Ina.
Hanya ada luka Ina. Ibu selalu merindukan dia. Dulu apapun yang ibu minta pasti
diberikan oleh bapamu, sehingga ibu jatuh hati dengan dia. Dan karena itu, ibu
memberikan cinta ibu pada bapamu dan
juga diri ibu seutuhnya kepada bapamu. Namun setelah mendengar ibu mengandung
dirimu, bapamu pergi entah kemana dan hingga sekarang mama juga tidak tahu keberadaan
dari bapamu. Sekarang dia hanya menjadi laki-laki pengecut dengan lidah yang
begitu manis. Ini alasan kenapa ibu tidak ingin menikah lagi, karena ibu trauma
dengan kejadian itu dan hingga sekarang ibu bahagia menikamti sisa hidup ibu”
jelas ibu yang membuat aku tidak bisa menahan dan jatuh berlutut di hadapan
ibu. Aku menangis sejadi-jadinya hingga membasahi kaki ibu dengan air mataku.
Aku tidak bisa membayangkan betapa tersiksa ibu waktu itu.
“mengapa ibu baru sekarang
memberitahu aku?” sementara aku bertanya, ibu membangunkan aku dan memeluk
diriku dengan eratnya.
“ibu hanya ingin melihat dirimu
berhasil menjadi perempuan dengan pekerjaan yang tetap. Ibu tidak ingin kamu
menjadi seperti ibu, Ina” jelas ibu sembari meneteskan air matanya.
Senja sudah beranjak dan malam
datang menjemput sunyi di anatara aku dan ibu. Tubuhku seakan kaku dan tidak
bisa bergerak mendengar penjelasan dari ibu. Air mataku tidak berhenti jatuh
membasahi pipiku. Tangisku memecah kesunyian yang datang. Mengapa demikian
tersiksa hidupku. Aku bergumam dalam hati. Mungkin kali ini hatiku adalah tempat
aku mencurahkan hatiku dalam beberapa menit kedepan untuk mengusir pikiranku.
“sudahlah ina, kita sudahi masa
lalu ibu ini. Ayo makan. Ibu sudah masak nasi dan tempe goreng tadi” ibu memang
kuat. Dalam situasi apapun ia akan tetap tegar. Lalu ibu bangun dari tempat
duduknya. Namun aku memegang tangan ibu saat ibu melangkah meneju dapur.
“ibu, terima kasih sudah
membesarkan anakmu ini. Aku sangat berterimaksih atas kesabaran dan kestiaan
dalam keluarga kecil ini ibu” aku mulai bangun dari tempatku dan beridiri
dihadapan ibu.
Ibu hanya senyum kecil kepadaku
sembari membelai rambutku. Seketaika membuat aku nyaman sesaat. “ibu aku ingin
terus terang kepada ibu. Ibu aku hamil” jelasku.
Seketika itu, tatapan ibu kosong.
Tubuhnya kaku.
“ibuuu…” teriakku menahan tubuh
ibu.
“Ina, apakah dia ingin
bertanggung jawab? Kalau dia ingin bertanggung jawab. Beritahu dia datang dan
berumah tangga di rumah ini sampai kalian tua kelak” bisik ibu diteligaku lalu
ibu bangun dan mengajak aku untuk makan malam
“ iyaa besok dia akan datang
melamar aku ibu”
“baiklah ibu akan menyiapkan yang
terbaik untukmua Ina” jawab ibu
Saat kejadian itu, ibu selalu terbuka dengan aku dengan apa yang
ibu alami dan rasakan. Aku merasa aku dan ibu bisa sedekat ini. Aku sangat
menyayangi ibu.